Gangguan tidur dialami oleh sekitar 50 – 80 % pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis salah satunya adalah Insomnia. Penyakit gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia yang berdampak pada masalah medis, ekonomi dan sosial yang sangat besar bagi pasien dan keluarganya, baik di negara maju maupun berkembang (Syamsiah, 2011).
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis di Indonesia meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54ntahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3 % (Riskesdas, 2013).
Kebijakan pemerintah yang mengatur tentang pelayanan dialysis di Rumah Sakit yaitu pasal 22 dan 23 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia ( PERMENKES RI) Nomor 138/MENKES/PB/II/2009 tahun 2009 yang isinya pelayanan hemodialisis merupakan pelayanan proses pencucian darah dengan menggunakan mesin cuci darah dan saranan hemodialisis lainnya. Selain itu, dalam peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (PERMENKES RI) No 812/MENEKS/PER/VII/ 2010 pasal 1 ayat 3 menjelaskan bahwa salah satu terapi penganti ginjal yang merupakan alat khusus dengan tujuan mengeluarkan toksik uremik dan mengatur cairan.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 20 Januari 2016 di Unit Hemodialisis di RS PKU Yogyakarta menerima pasien gagal ginjal kronik dengan PBI dan Non PBI melalui Jaminan Kesehatan Nasional yang sekarang diselenggarakan oleh BPJS namun masih terdapat sekitar 1 pasien yang menggunakan jaminan kesehatan dengan Jamkesta dan 2 pasien dengan menggunakan jaminan kesehatan dari perusahaa tempat kerja.
Hemodialisis merupakan proses penyaringan sampah metabolisme dengan menggunkana membrane semi- permeabel yang berfungsi sebagai gijal buatan atau yang disebut dengan dyalizer (Thomas, 2002; Price & Wilson, 2003). Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakann oleh ginjal, sehingga pasien akan tetap mengalami berbagai komplikasi baik dari penyakitnya maupun juga terapinya (Mollaoglu, 2009). Salah satu kompliksi yang sering dialami oleh pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah gangguan tidur (Rosdiana, 2010).
Gangguan tidur dialami oleh sekitar 50 – 80 % pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis (Sabry, 2010). Gangguan tidur yang umum dialami diantaranya Restless Leg Syndrome (RLS), Sleep Apnoea (SA), Excessive Daytime Sleepiness (EDS), narkolepsi, tidur berjalan, dan mimpi buruk, periodic limb movement disorder, serta insomnia yang disebut memiliki prevalensi paling tinggi pada populasi pasien dialysis. Prevalensi insomnia pada pasien hemodialisis berkiasar antara 45 – 69.1% (Sabry, 2010). Prevalensi insomnia dalam berbagai penelitian sangat bervariasi karena adanya perbedaan definisi, diagnosis, karakteristik populasi, dan metodologi penelitian.
Insomnia didefinisikan sebagai sensasi subjektif dari tidur yang pendek dan tidak puas (Sabbatini, 2002), sedangkan menurut International Classification of Sleep Disorder (ICSD-2) insomnia adalah kesulitan untuk memulai tidur, bangun terlalu dini, sering terbangun dengan kesulitan untuk tidur kembali dan mengalami konsekuensi di siang hari akibat kesulitan tidur di malam hari (American Sleep Disorder Association, 1997).
Sulitnya mempertahankan tidur dan tidak dapat tidur secukupnya mengakibatkan seorang pasien terbangun sebelum dia mendapatkan tidur yang cukup. Sehingga dapat menyebabkan pasien mengalami beberapa konsekuensi, diantaranya rasa kantuk di siang hari, persaan depresi, kurang energi, gangguan kognitif, gangguan memori, lekas marah, disfungsi psikomotor dan penurunan kewaspadaan serta konsentrasi (Szentkiralyi, et al, 2009). Pada akhirnya, pasien gagal ginjal kronik yang mengalami insomnia dan menjalani hemodialisis akan menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien, sehingga perlu dilakukan manajemen yang tepat sesuai faktor yang mempengaruhinya (Elder, et al, 2008).
Relaksasi adalah salah satu teknik di dalam terapi perilaku yang pertama kali dikenal oleh Jacobson, seorang psikolog dari Chicago yang mengembangkan metode fisiologis melawan ketegangan dan kecemasan. Teknik ini disebut relaksasi yaitu teknik untuk mengurangi ketegangan otot. Jacobson berpendapat bahwa semua bentuk ketegangan termasuk ketegangan mental didasarkan pada kontraksi otot (Purwanto, 2007). Menurut pandangan ilmiah relaksasi merupakan perpanjangan serabut otot skeletal, sedangkan ketegangan merupakan kontraksi terhadap perpindahan serabut otot. Salah satu teknik relaksasi adalah dengan melakukan massage. Relaksasi otot bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan dengan cara melemaskan otot-otot badan dengan terapi relaksasi massage peredaran darah menjadi lancer, dan badan terasa lebih sehat (Dahono, 2009).
Penelitian ini menujukkan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis mengalami insomnia ≤36 berjumlah 14 orang dan >36 bulan berjumlah 6 orang. Responden dalam penelitian ini dengan waktu terpendek adalah 7 bulan dan terpanjang adalah 144 bulan. Responden pada kelompok eksperimen yang memiliki skor insomnia tertinggi pada postest adalah responden yang menjalani hemodialisis dengan jangka waktu 144 bulan dengan skor 18, 126 bulan dengan skor 19, 78 bulan dengan skor 22 dan 50 bulan dengan skor 16. Setelah dilakukan terapi relaksasi massage dan dilakukan postest maka responden yang memiliki waktu hemodialisis 144 bulan dengan skor 15, 126 bulan dengan skor 17 dan 50 bulan dengan skor 12.
Responden pada kelompok esperimen dengan lama hemodialisis rata-rata 12 bulan sampai 36 bulan memiliki skor insomnia sebanyak 11 sampai 16. Namun ketika diberikan intervensi terapi relaksasi massage skor insomnia cenderung berkurang secara signifikan yaitu 6 sampai 7. Artinya jika semakin lama menjalani hemodialisis maka skor insomnia nya semakin tinggi dan ketika diberikan terapi relaksasi massage skor insomnia menurun. dilakukan intervensi pada kelompok eksperimen kemudian dilakukan postes pada kedua kelompok tedapat perubahan hasi postes yaitu pada kelompok eksperimen yang mendapatkan Terapi relaksasi massage terdapat perubahan skor yaitu berupa penurunan skor insomnia dimana skor 0-9 dikatakan tidak insomnia sebanyak 6 orang (60%) dan skor >9 yang dikatakan masih insomnia sebanyak 4 orang (40%). Sedangkan pada kelompok kontrol terjadi perubahan skor yaitu terjadi kenaikan pada skor insomnia sebanyak 6 orang (60%) dan skor tetap sebanyak 4 orang (40%).
Untuk mengetahui perbandingan antara pre dan pos test pada kelompok eksperimen setelah dilakukan intervensi terapi relaksasi massage menggunakan uji statistik parametrik paired t-test didapatkan hasil p=0,000 (p< 0,05), sehingga Ha diterima dan Ho ditolak artinya Maka dapat diartikan bahwa terdapat efektivitas terapi relaksasi massage terhadap insomnia pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis.
Untuk mengetahui perbandingan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol maka digunakan uji statistik parametrik independent t-test didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05), sehingga Ha diterima dan Ho ditolak artinya terdapat perbedaan yang bermakna secara statistika antara kelompok eksperimen yang diberikan terapi relaksasi massage.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah I Yogyakarta maka dapat disimpulkan bahwa terapi relaksasi massage sebelum tidur berpengaruh positif terhadap penurunan skor insomnia dimana artinya adalah jika terapi relaksasi massage efektif terhadap penurunan skor insomnia pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
DAFTAR PUSTAKA:
Association, A.A.S.D (1997): International Classification of Sleep Disorder. Revised: Diagnostic and Coding Manuals. American Sleep Disorder Association.
Dahono. Manfaat Pijat, Pengobatan Penyakit & Alternatif. http://www.rileks.com/lifestyle/tren dz/healthy-life/27570-manfaat- terapi-pijat-bagi-segala-jenis- umur.html. Diakses tanggal 13 Desember 2015.
Elder, S.J., Pisoni, R.L., Akizawa, T., Fissell, R., et al. (2008) Sleep Quality Predict Quality of Life and Mortality risk in Hemodialysis Patient; Results from the Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study (DOPPS). Nephrol Dial Transplant; 23(3);998-1004
Handoyo. Manfaat Pijat Relaksasi. http://www.medisiana.com/viewtop ic. Diakses tanggal 2 Desember 2015
Kallenbach, J.Z., Gutch, C.F., Stoner, M.H., Corea, A.L. (2005) Review of Hemodilysis for Nurse and Dialysis Personel. St. Lous Missouri : Mosby
Mollaoglu, M (2009). Perceive Social Support, Anxiety, and Self-Care Among Patients Receiving Hemodialysis. Clinical Perspective. Dyalisis & Transplantation. http://www. Interscience.wiley.com
Potter & Perry.(2005).Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik Volume 1 dan 2.Jakarta:EGC
Riskesdas. 2013. Laporan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan diakses tanggal 15 November 2015.
Rosdiana (2010) Analisis faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Insomnia pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemdialisis di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tasikmalaya dan Garut. Program Pasca sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Karya Tulis Ilmia. Dipublikasikan.
Sabry, A.A., Zenah, H.A., Wafa, E., Mahmoud, K., et al (2010). Sleep Disorders in Hemodialysis Patients, Study Journal of Kidney Disease and Transplantion. Vol. 21 (2): 300-305
Szentkiralyi, A., Madarasz, C.Z., and Novak., M (2009) Sleep Disorders; Impact on Daytime Functioning and Quality of Life. Res; 9(1)