Stunting adalah istilah yang sedang popular beberapa tahun belakangan ini, karena Pemerintah menargetkan untuk menurunkan prevalensi stunting menjadi 14% pada tahun 2024. Berbagai upaya inovatif dikembangkan untuk dapat mempercepat penurunan prevalensi dan setiap daerah didukung untuk melakukan berbagai kegiatan secara lintas sector dalam upaya tersebut. Stunting merupakan kondisi kekurangan gizi pada anak di bawah usia dua tahun yang terjadi dalam jangka waktu lama. Kondisi kekurangan gizi sering dipersepsikan dalam bentuk panjang badan atau tinggi badan anak yang lebih pendek dari standar baku pertumbuhan yang telah ditetapkan. Masalah sesungguhnya bukanlah terletak pada pendeknya badan seorang anak, namun stunting lebih utama menggambarkan pada terhambatnya perkembangan sel-sel otak anak. Kategori pendek pada ukuran tubuh anak hanya merupakan implementasi yang dapat dilihat dan diukur dengan mudah dibandingkan dengan mengukur perkembangan otak secara langsung yang memerlukan biaya dan peralatan yang lebih komplek.
Otak anak mulai berkembang pada umur 8 minggu kehamilan dan terus berkembang mencapai 70-80% pada saat dilahirkan serta mencapai 95-100% pada usia dua tahun. Perkembangan ini merupakan perkembangan yang paling cepat dan paling besar dalam kehidupan seorang manusia, sehingga terhambatnya pertumbuhan pada saat kehamilan sangat berdampak setelah anak dilahirkan hingga dewasa. Setelah berusia dua tahun, sel-sel otak akan membesar mengikuti pertumbuhan tubuh, namun jumlah sel yang terbentuk tidak dapat bertambah lagi. Kondisi ini menyebabkan anak yang mengalami stunting akan mempunyai kemampuan otak yang lebih rendah dibandingkan anak yang tidak stunting.
Kondisi stunting akan berdampak pada rendahnya kemampuan kognitif dan psikomotorik anak, kesulitan dalam belajar dan berisiko lebih tinggi untuk menderita penyakit degeneratif. Selain itu, risiko untuk mengalami kesakitan dan kematian, obesitas dan rendahnya produktivitas akan menyulitkan anak stunting untuk dapat mengejar cita-citanya. Kondisi ini diperparah dengan bullying yang terjadi pada anak stunting. Di satu sisi, populernya kata “stunting” akan menyebabkan lebih meningkatnya perhatian pemerintah dan lapisan masyarakat untuk mengatasi masalah stunting, namun juga terkadang menimbulkan “stigma” pada masyarakat untuk menyebut anak atau orang yang mempunyai postur tubuh yang pendek sebagai “stunting”. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa pemahaman kita terhadap stunting masih perlu lebih ditingkatkan, sehingga tidak ada stigma negatif yang dilekatkan kepada seseorang secara tidak tepat.
Untuk mengatasi masalah stunting diperlukan data yang akurat, karena stunting merupakan masalah hulu yang mempunyai pokok-pokok masalah pada bagian hilir yang perlu diatasi secara lintas program dan lintas sector. Analisis data yang menghasilkan informasi yang kurang tepat justru akan menyebabkan intervensi stunting yang dilakukan menjadi tidak tepat sasaran, waktu dan lokasi, sehingga tidak terkesan mubazir. Akurasi data sangat penting untuk diketahuinya pokok-pokok masalah yang terjadi, baik masalah yang dialami secara individu/keluarga maupun secara umum masyarakat setempat.
Data yang sering digunakan dalam menentukan prevalensi stunting pada umumnya adalah data yang bersumber dari system Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat atau yang lebih dikenal dengan e-PPGBM. Data yang diperoleh dari e-PPGBM merupakan data yang dilaporkan oleh tenaga gizi puskesmas dari hasil pemantauan pertumbuhan pada Balita di posyandu setiap bulan. Namun kita perlu hati-hati untuk menggunakan data prevalensi yang diperoleh dari e-PPGBM sebagai sumber data utama dalam penentuan prioritas penanggulangan stunting yang ada.
Data e-PPGBM dikumpulkan dari hasil pengukuran antropometri yang dilakukan setiap bulan di posyandu. Data yang diperoleh masih dapat mempunyai tingkat kesalahan (bias) yang cukup besar, baik dari factor sumber daya manusia, peralatan, metode, dan dukungan dana maupun dukungan manajemen. Pengukuran berat badan dan tinggi badan pada umumnya dilakukan oleh kader, dan banyaknya jumlah orang dengan berbagai tingkat kemampuan yang melakukan pengukuran dapat menyebabkan terjadinya kesalahan pengukuran yang terjadi menjadi lebih besar. Selain itu, alat pengukuran yang digunakan juga beragam dan kadang tidak divalidasi sebelum digunakan, sehingga kesalahan dalam pengukuran juga cukup besar dan kondisi ini diperparah dengan tidak adanya tera ulang secara berkala terhadap alat ukur yang digunakan. Selain itu, protocol pengukuran yang dilakukan kemungkinan tidak dilakukan secara optimal, seperti penggunaan pakaian seminimal mungkin oleh anak pada saat diukur, tempat meletakkan alat ukur yang mungkin dapat mempengaruhi pengukuran dan lain-lain.
Untuk mengatasi ini, perlu dilakukan pelatihan secara rutin pada kader posyandu dan pelaksana pengukuran antropometri lainnya. sehingga kesalahan dari sisi sumber daya manusia (SDM) maupun standar prosedur operasional dapat diminimalisir. Validasi data segera dilaksanakan setelah pengukuran dilakukan oleh kader, dan bila tingkat perbedaan pengukuran antara kader dan petugas validasi terlalu jauh, maka perlu dilakukan pelatihan ulang pada kader dan dilakukan pengukuran ulang pada sasaran yang ada. Pengambilan sampel minimal 10 orang per setiap kali kegiatan pemantauan pertumbuhan dilaksanakan harus menjadi rutinitas untuk memastikan bahwa pengukuran telah dilakukan dengan metode dan alat yang tepat serta oleh petugas yang terlatih.
Pengadaan dan melakukan tera ulang secara berkala pada alat ukur juga perlu dilakukan dengan menggunakan dana desa, agar alat ukur yang digunakan mempunyai tingkat presisi atau ketepatan pengukuran yang valid. Validasi data perlu dilakukan secara berkala, namun validasi belum berjalan secara optimal karena keterbatasan jumlah petugas untuk melakukan validasi. Pemerintah Desa atau Kelurahan selaku “pemimpin” Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) di daerahnya, perlu lebih meningkatkan peran dan kepedulian serta dukungannya, agar data-data e-PPGBM yang akurat dapat dihasilkan, karena penanggulangan stunting harus didasarkan basis keluarga dan Kelurahan/Desa setempat. Setiap Desa/Kelurahan harus dapat memastikan bahwa seluruh Balita yang ada di wilayahnya melakukan pemantauan pertumbuhan secara teratur di posyandu, karena anak yang tidak dipantau akan mempunyai risiko untuk mengalami masalah gizi, termasuk stunting. Sebagian besar masalah gizi dan kesehatan justru dialami oleh Balita yang jarang atau tidak pernah ke posyandu, sehingga Balita tersebut harus menjadi prioritas untuk dapat terpantau dengan baik.
Data e-PPGBM juga akan dapat memberikan gambaran yang lebih akurat, bila minimal 80% dari seluruh Balita yang ada dipantau pertumbuhannya. Penggunaan data yang dihasilkan dari anak yang sering datang ke posyandu saja dapat mengecoh kita, karena akan terlihat seakan-akan masalah gizi yang terjadi jauh di bawah standar yang ditetapkan. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya prevalensi stunting menurut e-PPGBM jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil survei yang dilakukan sesuai pengkajian ilmiah seperti Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI). Oleh karena itu, kita belum dapat menjadikan data e-PPGBM sebagai rujukan bila cakupan pemantauan kurang dari 80% dan upaya-upaya untuk meningkatkan presisi dan akurasi data belum optimal dilakukan. Jangan biarkan kita terkecoh dengan data yang tidak valid. Menggunakan data yang tidak akurat merupakan suatu bentuk yang tidak bijak dalam penanggulangan masalah kesehatan dan gizi masyarakat.
Wiwin Efrizal, SST Gizi, M.Si.Med.
Nutrisionis Madya Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung