Pemasangan infus merupakan prosedur yang sering dilakukan di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya untuk mengobati berbagai kondisi pasien. Selain untuk jalur pemberian obat, tujuan pemberian terapi intravena adalah untuk mengoreksi atau mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
Pemeriksaan kepatenan infus secara rutin diperlukan agar pemberian terapi cairan dan obat tetap efektif. Tetapi karena terapi ini diberikan secara terus menerus dan dalam jangka waktu tertentu tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadi komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah phlebitis. Angka phlebitis di Indonesia sebanyak 50,11% untuk rumah sakit pemerintah, dan sebanyak 32,70% untuk rumah sakit swasta (Depkes, 2017). Jika terjadi phlebitis, pemberian terapi intravena menjadi tidak efektif dan harus dilakukan pemasangan infus ulang.
Phlebitis merupakan infeksi nosokomial yang berasal dari mikroorganisme yang dialami pasien yang diperoleh selama pasien tersebut dirawat di rumah sakit, diikuti dengan manifestasi klinis sekurang-kurangnya 3x24 jam. Phlebitis didefinisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat disekitar daerah penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak di daerah penusukan atau sepanjang vena, dan pembengkakan. Faktor pencetus phlebitis antara lain adalah iritasi kimia, bakterial, mekanis, pH, osmolaritas cairan dan pemberian larutan yang terlalu cepat, atau infeksi oleh adanya mikroorganisme. Faktor penyebab lain dari pasien yang mengalami phlebitis di luar teknik asepsis yang baik, yaitu pasien yang banyak bergerak, gelisah, atau perubahan tingkat kesadaran yang berakibat daerah insersi menjadi meradang.
Kepatenan infus intravena perlu dipertahankan dan merupakan tugas perawat yang memerlukan pengetahuan serta keterampilan tentang pemasangan, perawatan infus, prinsip-prinsip aliran, dan pasien harus dikaji dengan teliti untuk mengetahui adanya komplikasi lokal maupun sistemik. Phlebitis dapat menjadi bahaya, karena bekuan darah (tromboflebitis) bisa menyebabkan emboli. Dampak lain yang terjadi dari phlebitis bagi pasien yaitu ketidaknyamanan pasien/kecemasan, pergantian infus baru, menambah lama perawatan, dan akan menambah biaya perawatan di rumah sakit. Sedangkan dampak bagi mutu pelayanan fasilitas kesehatan yaitu dapat menurunkan citra kualitas pelayanan.
Kejadian phlebitis dapat merugikan pasien dan mutu pelayanan fasilitas kesehatan. Phlebitis dapat dicegah dengan cara mencuci tangan, penggunaan sarung tangan saat tindakan asepsis, sterilisasi dan desinfektan. Pencegahan phlebitis jika lebih diperinci adalah meliputi:
- Melakukan teknik asepsis selama penusukan jarum infus pada pasien. Salah satu tindakan asepsis yang dapat berpengaruh untuk mengendalikan infeksi nosokomial adalah pentingnya tenaga medis untuk melakukan prosedur mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan kontak dengan pasien, karena tangan merupakan salah satu sumber yang terdapat banyak bakteri dan mikroorganisme tumbuh. Selanjutnya adalah pelaksanaan preparasi kulit sebelum pemasangan infus. Pembersihan lokasi insersi dapat menggunakan larutan antiseptik: providine-iodine, alcohol 70%, clorhexidine, atau tincture of iodine 2 %. Kulit yang sudah dibersihkan tidak boleh disentuh lagi.
- Rotasi tempat pemasangan jarum infus yaitu mengganti kateter vena sekurang kurangnya 72 jam (3 hari). Pemasangan infus berdasarkan rekomendasi dari The Infusion Nursing Standars of Practice dapat dipertahankan selama 72 jam (tiga hari) setelah pemasangan. Pasien dengan tindakan infus lebih dari tiga hari berisiko terkena infeksi nosokomial bila dibandingkan dengan pasien yang menggunakan infus kurang dari tiga hari, hal tersebut dikarenakan lokasi penusukan/insersi infus yang lebih dari tiga hari akan menyebabkan organisme flora normal tumbuh secara berlebih sehingga menyebabkan infeksi.
- Menggunakan jarum yang sesuai dengan ukuran vena pasien.
- Pemantauan berkala intravena line. Tindakan pencegahan ini meliputi mengobservasi adanya tanda dan gejala phlebitis, mengobservasi tanda atau reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain, mempertahankan integritas sistem infus, memantau area insersi secara berkala.
- Pendidikan pasien tentang tanda gejala phlebitis. Tanda dan gejala phlebitis dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat disekitar daerah penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak di daerah penusukan atau sepanjang vena, dan pembengkakan.
- Mengikuti pedoman pengenceran obat. Perawat memastikan obat larut sempurna saat pengoplosan dan mengatur kecepatan pemberian untuk mengurangi efek samping seperti phlebitis.
- Mengganti larutan intravena sekurang-kurangnya 24 jam atau sesuai dosis yang diberikan, serta mempertahankan sterilitas sistem intravena saat mengganti selang, larutan dan balutan.
Adanya infus intravena sangat memudahkan pemberian cairan elektrolit dan obat. Penting untuk menjaga kepatenan infus agar tetap efektif. Jika terjadi phlebitis, pemberian terapi menjadi tidak efektif dan tentunya merugikan pasien. Jika pasien mengeluhkan adanya bengkak, nyeri di sekitar infus, diharapkan agar infus segera dilepas dan dilakukan pemasangan ulang. Perawat dapat mengupayakan pencegahan phlebitis di luar faktor pasien yang banyak bergerak, gelisah, atau perubahan tingkat kesadaran.
Upaya yang dapat dilakukan perawat yaitu melakukan teknis asepsis, mengganti infus setiap tiga hari, menggunakan jarum sesuai ukuran vena pasien, melakukan pemantauan berkala, pendidikan terkait tanda dan gejala phlebitis kepada pasien, dan melakukan pengenceran serta pemberian terapi obat/cairan intravena dengan benar. Dengan dilakukan upaya pencegahan phlebitis, diharapkan pemberian terapi dapat berjalan lancar, tingkat kejadian phlebitis dapat berkurang, dan mengurangi ketidaknyamanan pasien.